Secara lughowi nikah adalah himpunan atau kumpulan, dengan artian bahwa pernikahan itu mengumpulkan antara suami dan istri dalam ikatan yang sah.
sedangkan pengertian dalam syar'i h seorang pria mengadakan akad dengan seorang wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan si wanita, dapat beroleh keturunan, dan tujuan lain yang merupakan maslahat nikah.
Nikah merupakan perjanjian dari sepasang suami istri dalam akad yang sah, yaitu dengan menghadirkan seorang wali dan 2 orang saksi serta mahar. Allah Swt Berfirman: وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 21)
Akad ini mengharuskan masing-masing dari suami dan istri memenuhi apa yang dikandung dalam perjanjian tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) kalian.” (Al-Ma`idah: 1)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) kalian.” (Al-Ma`idah: 1)
Adapun rukun nikah adalah sebagai berikut, di katakan rukun karna hal ini harus ada dan harus dipenuhi, dan jika tidak di penuhi salah satu rukun teersebut maka nikah tersebut di hukumi tidah sah.
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah.
Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab
, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali.
Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah”(”Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah”(”Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali.
Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah”(”Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah”(”Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah”atau “Qabiltu Hadzat Tazwij”(”Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”Dalam
ijab dan qabul dipakai lafadz nikah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
ijab dan qabul dipakai lafadz nikah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)Dan firman-Nya:ِ “Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).”(An-Nisa`: 22)
Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat
, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)Adapun
syarat nikah
adalah sebagai berikut:
Syarat pertama:
Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua:
Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu
rahimahullahu, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat
, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)Adapun
syarat nikah
adalah sebagai berikut:
Syarat pertama:
Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua:
Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.”
(HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
(HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib) Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah
maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib) Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah
maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:1. Laki-laki2. Berakal3. Beragama Islam4. Baligh5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
PROBLEMATIKA NIKAH SIRRI
sahnya nikah sirri tergantung dari segi saat akad dilakukan, yaitu terpenuhinya syarat dan rukun nikah. namun dewasa ini, nikah sirri sering diartikan nikah tanpa wali, ataupun nikah tanpa saksi. apabila hal ini terjadi maka ini bukanlah suatu bentuk nikah sirri, melaikan nikah yang secara mutlak nikah bathil. secara garis kecil bahwa nikah sirri itu adalah nikah yang tanpa campur tangan pemerintah, yaitu tanpa izin dari pihak setempat, seperti KUA atau Dinas Sipil.
berikut adalah fatwa MUI mengenai seputar nikah sirri:
Jakarta -- Sebagian masyarakat berpendapat nikah siri
atau nikah di bawah tangan tidak sah. Sebagian lain mengatakan sah. Untuk itu,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa. Nikah siri sah dilakukan asal
tujuannya untuk membina rumah tangga.
"Pernikahan di bawah
tangan hukumnya sah kalau telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram
jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif," ujar Ketua Komisi Fatwa
MUI Ma'ruf Amin dalam jumpa pers di kantor MUI, lantai dasar Masjid Istiqlal,
Jl Veteran, Jakarta, Selasa (30/5).
Fatwa tersebut merupakan hasil keputusan ijtima' ulama Se-Indonesia II, di
Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur yang berlangsung 25-28 Mei
2006.
Ma'ruf menjelaskan, nikah siri adalah pernikahan yang telah memenuhi semua
rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fikih (hukum Islam), namun tanpa
pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
"Perkawinan seperti itu dipandang tidak memenuhi ketentuan
perundang-undangan dan sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap istri
dan anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah
ataupun hak waris," papar Ma'ruf.
Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut sering kali menimbulkan sengketa. Sebab
tuntutan akan sulit dipenuhi karena tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan
yang sah.
Namun demikian untuk menghindari kemudharatan, peserta ijtima' ulama sepakat
bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang.
Tanggapi Pelecehan
Selain itu, Ijtima` Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Majelis Ulama Indonesia
(MUI) juga merekomendasikan agar umat Islam menanggapi pelecehan terhadap agama
Islam melalui jalur hukum.
"Sikapi peristiwa penghinaan seperti kasus tuduhan bahwa Al Quran sebagai
kitab porno yang melukai hati umat Islam dengan arif dan bijaksana," kata
KH Ma`ruf Amin.
Rekomendasi itu adalah hasil keputusan Ijtima` Ulama di Pondok Pesantren
Darussalam Gontor, pada 26 Mei 2006 yang dihadiri lebih dari seribu ulama.
Dikatakan Ma`ruf, umat Islam harus mengedepankan nilai etika dan moral dengan
tetap proaktif memberi pencerahan kepada pihak yang melakukan penghinaan itu
dengan sikap persuasif, simpatik dan tanpa kekerasan atau anarkisme.
"Serahkan kepada pihak berwenang untuk menyelesaikannya, pakailah jalur
hukum," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar